Jumat, 12 November 2021

Sejarah Singkat Pesantren Jamsaren Solo


SEJARAH AWAL PONDOK JAMSAREN

Pondok pesantren Jamsaren berlokasi di Jalan Veteran 263 Serengan Solo. Ponpes ini pertama berdiri sekitar tahun 1750. Dalam sejarahnya, pondok ini melewati dua periode, setelah mengalami kevakuman hampir 50 tahun, antara 1830 - 1878.

Semula, pondok pesantren yang didirikan pada masa pemerintahan Pakubuwono IV ini hanya berupa surau kecil. Kala itu, PB IV mendatangkan para ulama, di antaranya Kiai Jamsari (Banyumas). Nama Jamsaren itu juga diambil dari nama kediaman Kiai Jamsari yang kemudian diabadikan hingga sekarang.

Vakumnya pondok pada 1830 disebabkan terjadinya operasi tentara Belanda. Operasi itu dimulai lantaran Belanda kalah perang dengan Pangeran Diponegoro pada 1825 di Yogyakarta. Karena kalah, Belanda melancarkan serangkaian tipu muslihat dan selanjutnya berhasil menjebak Pangeran Diponegoro. Karena itu pada 1830, para kiai dan pembantu Pangeran Diponegoro di Surakarta dan PB VI bersembunyi dan keluar dari Surakarta ke daerah lain, termasuk Kiai Jamsari II (putra Kiai Jamsari) dan santrinya.

Setelah sekitar 50 tahun kosong, seorang Kiai alim dari Klaten yang merupakan keturunan pembantu Pangeran Diponegoro, Kyai Haji Idris bin Zaid membangun kembali surau tersebut. Tentu lebih lengkap dan diperluas dari kondisi semula. Di tangan Kiai Idris inilah Jamsaren mencapai puncaknya.

Selain mengelola Ponpes Jamsaren, Kiai Idris saat itu juga mengelola Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan Kraton Surakarta. Sejumlah tokoh pergerakan nasional dari berbagai daerah tercatat pernah belajar di madrasah tersebut.

Sedangkan di Jamsaren, ribuan santri dari berbagai penjuru Asia Tenggara datang berguru kepada Kiai Idris yang dikenal sangat 'alim dan juga menjadi mursyid Thariqah Naqsyabandiyah tersebut.

Di antara nama-nama besar yang pernah nyantri Kiai Idris adalah KH Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), KH Dimyati (Pengasuh Ponpes Termas, Pacitan), Sayid Achmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), KH Arwani Amin (Kudus), KH Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan).dll

Bahkan setelah Kiai Idris wafat pada tahun 1923, nama besar Jamsaren masih menjadi rujukan bagi para orangtua untuk mengirim anaknya nyantri. Banyak tokoh besar tanah air merupakan lulusan atau pernah belajar agama secara intens di Jamsaren generasi berikutnya.

Sebut saja misalnya Munawir Sadzali (mantan Menag), Amien Rais (mantan Ketua MPR), KH Zarkasyi (pendiri Ponpes Gontor), KH Hasan Ubaidah (pendiri dan pimpinan LDII) serta sejumlah nama lainnya. Jamsaren, sebuah pesantren kuno yang telah menyemai tumbuhnya banyak tokoh di negri ini.

Tokoh sentral yang terakhir memimpin pesantren ini adalah KH Ali Darokah. Setelah KH Ali Darokah wafat tahun 1997, Jamsaren dipimpin oleh sebuah dewan sesepuh. Sedangkan sebagai pelaksana keputusan, semua kegiatan dipimpin Mufti Addin selaku lurah pondok.

SISTEM PENDIDIKAN

Sistem asal adalah salafiyah. Karena itu, materi yang diajarkan adalah kitab-kitab Islam berbahasa Arab dan diterjemahkan dengan bahasa Jawa Pegon (bahasa yang disesuaikan dengan susunan bahasa Arab), seperti Nahwu Shorof, Tajwid, Qiroah, Tafsir, Fiqh, Hadits, Mantiq, Tarikh dan Ilmu Tasawwuf. Metode pengajaran pun dengan cara sorogan (maju satu per satu), sebagian yang lain dengan cara wekton/wetonan atau bandongan (cara berkelompok), masing-masing membawa kitab sendiri.

Para santri tidak hanya datang dari sekitar Solo, tetapi juga datang dari daerah lain di Pulau Jawa, di antaranya Tegal, Semarang, Banten, Jombang, dan Mojokerto. Pada 1908, mushala pondok pesantren diganti dengan bangunan masjid tembok dan berlangsung hingga sekarang. Pada 1913, sistem pengajian sorogan diganti dengan sistem kelas (klasikal). Beberapa nama besar pernah lahir dari pondok ini, di antaranya Munawir Sazali (mantan Menteri Agama RI) dan Miftah Farid (Ketua MUI Jabar).

Dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Jamsaren kemudian bekerja sama dengan Yayasan Perguruan Al Islam Surakarta. Kini, sebagian besar santrinya adalah siswa SMP dan SMA Al Islam Surakarta. 

YAYASAN AL-ISLAM JAMSAREN

Salah satu jejak besar Jamsaren saat ini adalah Yayasan Pendidikan Al-Islam yang didirikan tahun 1926 oleh para alumni dan pengasuh Jamsaren. Lembaga pendidikan ini telah berkembang luas sebagai sekolah favoritdi Jawa tengah dan Jawa Timur dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA.

Sedangkan santri mukim di Jamsaren saat ini sekitar 120 santri putra dengan prioritas program tahfidul Qur'an. "Mereka santri mukim disini. Pagi hari akan mengikuti sekolah formal di Al-Islam lalu siang hingga malam tinggal di Jamsaren," ujar Mufti.

PROFIL MA AL-ISLAM JAMSAREN

MA Al-Islam Jamsaren Surakarta merupakan Sekolah Menengah Atas berciri khas Islam, madrasah yang memadukan antara kurikulum pendidikan umum (SMA) dan kurikulum pendidikan agama Islam (MA). MA Al-Islam Jamsaren Surakarta berdiri sejak tahun 1942 yang kemudian dinegerikan menjadi MAAIN (sekarang MAN) pada tahun 1967 dan bersamaan dengan itu Yayasan Perguruan Al-Islam tetap konsisten melanjutkan pendidikan MA – SMA Al-Islam. Pada tahun 1989 institusi yang berada di bawah dua naungan tersebut (KEMENAG dan KEMENDIKNAS) dipisahkan menjadi dua :

MA Al-Islam Jamsaren Surakarta di bawah naungan Kementerian Agama dengan tetap memadukan kurikulum SMA dan MA berada di lokasi Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta Jl. Veteran No. 263 Serengan Solo.
SMA Al-Islam di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berada di Jl. Honggowongso Surakarta.

Pada awalnya MA Al-Islam dipimpin oleh KH. M. Ma’muri dilanjutkan KH. A. Musthofa, lalu HA. Ruslan, BA; KH. M. Umar Irsyadi, BA; Drs. Kasori Mujahid; H. Mufti Addin, S. Pd. Pada saat ini MA Al-Islam Jamsaren Surakarta dikepalai oleh Muchammad Syafii, S. Pd.

Visi dan Misi

Visi

Terwujudnya madrasah yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta berjiwa mandiri yang didasari pada keimanan dan ketaqwaan

Misi

Mewujudkan pengembangan kurikulum yang adaptif dan proaktif yang mengarah pada internalisasi nilai-nilai Al-Qur’an.
Mewujudkan proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Mewujudkan lulusan yang cerdas, mandiri dan berakhlak.
Mewujudkan SDM pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kemampuan yang profesional.
Mewujudkan sarana dan prasarana yang relevan dan mutakhir.

Kurikulum

SMA/MA Al Islam Jamsaren Surakarta menggunakan kurikulum Depdiknas 2006 yang secara inovatif direkayasa berdasarkan visi dan misi serta target institusi yang meliputi :

Struktur program kurikulum SMA
Struktur program pendidikan Agama Islam
Pendidikan ekstra yang mengarah pada ketrampilan hidup (life skill) seperti: ketrampilan otomotif, ketrampilan, komputer, handicraft dan design tekstil.

Prestasi

Juara 1 Seni Kaligrafi Tingkat Pelajar SMA/MA/SMK Se-Solo Raya STAIN Surakarta 2009
Atlit Pencak Silat POPDA Solo 2009
Demo Produk Kerajinan Gelar Batik Nusantara Jakarta Convention Centre Agustus 2009
Juara I Olympiade Geografi se-Jawa Tengah Tahun 2008
Juara Harapan 2 Olympiade Matematika MAN-MAS Tingkat Nasional Tahun 2008
Juara I I I Olympiade Kimia MAN-MAS Tingkat Nasional 2008
Juara I, II, & III Design Batik Kontemporer UMS Tk Jawa Tengah Tahun 2008
Juara III Design Baju Batik Danarhadi antar pelajar se-Jawa Tengah Tahun 2008
Juara I Beladiri Tapak Suci Putra antar pelajar se-Jawa Tengah Tahun 2008
Juara I Beladiri Tapak Suci Putra Putri antar pelajar se-Kota Surakarta Tahun 2008
Juara I Cerpen antar pelajar se-Kota Surakarta Tahun 2008
Juara I MTQ Pelajar se SOLO Raya Tahun 2008
Juara I MTQ dan Tartil Qur'an se-Surakarta Tahun 2008
Juara I Nasional PenulisanArtikel- HUT KOMPAS ke 38
Lolos seleksi/terpilih sebagai Wartawan Siswa SOLOPOStahun 2008
Juara I Olympiade Geografi se-eks Karisidenan Surakarta tahun 2007
Lolos Babak 2 Liga Basket SMA/MA HEXOS Extravaganza tahun 2007
Libero Terbaik Liga Sepakbola Remaja se-eks Karisidenan Surakarta Tahun 2006
Juara I Da'i Remaja se-eks Karisidenan Surakarta Tahun 2006
Juara I Tahfidzul Qur'an 20 Juz se-Kota Surakarta Tahun 2006
Juara I MTQ Piala Wali Kota- UKMI UNS Tahun 2004
Juara I Thropy Hadad Alwi Cinta Rasul Kodia Surakarta Tahun 2003
Turut aktif mengikuti expo karya siswa baik tingkat lokal maupun nasional:
Expo Pagelaran Sekaten" sejaktahun 2006 hingga sekarang
Global Islamic Education Expo" di Semarang tahun 2008
Expo "Ngarsopuro Night Market 2009"
Aktif membantu kegiatan sosial:
Team Tanggap Darurat BencanaAlam -
Donor Darah PMI

MTS AL-ISLAM JAMSAREN

Nama: MTs Al-Islam Jamsaren
Yayasan: Unit pendidikan dari Yayasan Pesantren Jamsaren Surakarta
Alamat: Kenteng RT 06/VII Semanggi Pasar Kliwon Surakarta
Layanan Informasi 
Telp. 0271.2099444 

Manaqib Pesantren Singo Manjat


Kyaii Imam Rozi (Singo Manjat) adalah pendiri Pondok Pesantren Singo Manjat Tempursari Klaten. Ia leluhur atau cikal bakal masyarakat Tempursari Klaten, yang keturunannya dan santrinya tersebar ke berbagai daerah.

Ia yang membawa misi ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, mendirikan tempat-tempat ibadah, pondok pesantren dan majlis taklim, baik di Jawa tengah, Jawa Timur, maupun di Jawa Barat.
Kiai Imam Razi adalah putra Kiai Maryani bin Kiai Wirononggo II bin Kiai Wirononggo I bin Kiai Singo Hadiwijoyo bin Kiai Tosari bin Kiai Ya’kub bin Kiai Ageng Kenongo. Ia lahir pada tahun 1801 M. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Kiai Maryani, kemudian berguru kepada Kiai Rifai, yang sekarang makamnya ada di Gathak Rejo, Drono Klaten. Ia juga berguru kepada Kiai Abdul Jalil Kalioso bersama Kiai Mojo, Penasihat Pangeran Diponegoro.

Pada usia 24 tahun, Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro menentang dan memerangi penjajah Belanda, bersama Kiai Mojo dan para pejuang lainnya. Ia diangkat sebagai manggala yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono VI Surakarta.

Pada saat Imam Rozi bersama Pangeran Diponegoro ditahan penjajah di Semarang, Pangeran Diponegoro menyuruhnya melarikan diri dari tahanan dan menghadap Paku Buwono VI dengan membawa surat dari Pangeran Diponegoro. Isi surat itu antara lain memohon Paku Buwono VI menugasinya berdakwah di Surakarta bagian Barat, mencarikan jodoh untuk mendampingi perjuangannya, dan disediakan tanah perdikan.

Tahun 1833 M ia telah melaksanakan tugas tersebut dan memilih Desa Tempursari sebagai tempat tinggal setelah mendapatkan bimbingan dan petunjuk ruhaniah dari Nabi Khidzir. Maka pada saat itu berdirilah Masjid Tempursari, yang kemudian berkembang pesat. Barulah pada tahun 1837 M Paku Buwono VI menjadikan tanah Tempursari sebagai tanah perdikan.

Kiai Imam Rozi menikah empat kali. Istri-istrinya yaitu R.A. Sumirah, saudara sepersusuan Pangeran Diponegoro, Ny. Ahadiyah (Ny. Kedung Qubah, cucu Kiai Syarifuddin Gading Santren), Ny Marfu’ah (Mlangi Yogyakarta), dan Ny. Sudarmi (Karangdowo). Kiai Imam Rozi wafat pada tahun 1872 dalam usia 71 tahun dan dimakamkan di Tempursari. Pengelolaan Pondok Pesantren diteruskan oleh menantunya, Kiai Zaid, kemudian diteruskan menantu Kiai Zaid, yaitu Kiai Muhammad Thohir, dan akhirnya diteruskan K.H. Abdul Muid bin Muhammad Thohir.

Kiai Abdul Mu’id (Mursyid Thariqah Syadziliyyah)
Kiai Abdul Muid adalah dzuriyah keempat Kiai Imam Rozi melaui jalur Ibu Ny. Thohir, putri Kiai Zaid, yang berasal dari Gabudan, Solo.

Nasab Kiai Abdul Muid secara lengkap yaitu KH. Abdul Muid bin Kiai Muh Thohir bin Kiai Ali Murtadlo bin Kiai Nur Hamdani bin Kiai Zainal Ali bin Kiai Abdus Shomad Cilongok, Purwokerto, Banyumas. (Putra Syarifah Sinah binti Sultan Hasanuddin Banten bin Syarif Hidayatullah bin)
Syarifah Sinah itu istri dari Sayid Alwy Al-Hadad bin Sayid Abdurrahman.

Ayahandanya, Kiai Muhammad Thohir, berasal dari Banyumas, yang nyantri di Tempursari pada masa Kiai Zaid, yang akhirnya menjadi menantu dan meneruskan pengelolaan Pesantren Tempursari. Ia kemdian dikaruniai anak semata wayang, yaitu K.H. Abdul Muid.

Sejak kecil sampai umur 14 tahun Abdul Muid dididik oleh ayahandanya sendiri. Setelah umur 14 tahun, ia diserahkan kepada Syaikh  Abdurrahman Alhasany Somolangu, Kebumen, dan tinggal di sana sampai beberapa tahun.
Kemudian ia diserahkan kepada KH. Idris bin Zaid, pendiri ke 2 Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, yang masih pamannya sendiri dari pihak ibu, sampai akhirnya ia diberi ijazah sanat dan dibai’at sebagai mursyid Thariqah Syadziliyah yang ke-34.

Guru-gurunya yang lain masih banyak, diantaranya adalah Kiai Abdurrahman Thengklik, Panasan, Boyolali. Setelah kembali dari pesantren, ia mulai menyebarkan apa-apa yang diperolehnya dari para gurunya melalui Pesantren Tempursari.

Kiai Abdul Muid mempunyai beberapa keistimewaan. Al-Kisah, pada suatu hari ada seorang santri yang berbaur dengan santri-santri Tempursari, mereka tidak tahu dan tidak kenal siapa dia. Setelah beberapa lama, santri tersebut menghadap sang kiai dan minta izin pamit pulang.
Ketika ditanya siapa namanya, ia menjawab dengan nama samaran (Bunyamin). Pada saat itu pula KH. Abdul Muid tahu bahwa sesungguhnya ia adalah Nabi Khidzir. Setelah peristiwa itu, ia sering sekali datang ke pesantren itu, membawa hikmah ilahiyah.

Kitab yang paling sering dibaca bersama para santrinya, antara lain, di bidang fiqh kitab I’Anah Al-Tholobin. Di bidang tauhid, kitab Ad-Dasuqi. Di bidang tasawuf, kitab Ihya’ Ulumuddin. Di bidang tafsir, kitab Jalalain.

Diantara para muridnya adalah Kiai Mudatsir (Jaten, Jimus, Polanharjo, Klaten), K.H. Ahmad Shodiq bin Raden Musthofa (Pasiraja, Purwokerto), KH. Ali Syuhudi (Nalan, Candirejo, Ngawen, Klaten), Kiai Ahmad Hilal (Tojayan, Kebonarum, Klaten), KH. Nawawi (Badean, Rogojampi, Banyuwangi), KH. Muh Ma’ruf Mangunwiyoto (Jenengan, Solo, murid sekaligus anak), KH. Masyhudi (Prambon, Madiun), KH. Shofawi (pendiri Masjid Tegalsari, Solo dan pendukung berdirinya Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo), Kiai Abu Su’ud (Jaten, Jumus, Polanharjo, Klaten), KH. Muhammad Idris (Kacangan, Boyolali).

Jumat Pahing, 8 Shafar 1360 H/7 Maret 1941, KH. Abdul Mu’id wafat pada usia ke-63. Menjelang wafatnya, dibacakan surat Yasin. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi “Qiladkhulil Jannah” (Dikatakan, masuklah ke dalam surga), ia menjawab, “Insya Allah”, dan kemudian ia menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dikebumikan di Komplek Makam Tempursari.
Ia menikah empat kali. Istri pertama, Ny. Rodiah, melahirkan KH. Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan, Solo. Lalu, Ny. Robikhah, Istri KH. Jufri, Petak, Susukan, Salatiga. Berikutnya Ny. Rohilah, istri Kiai Nursalim, Semowo, Salatiga. Istri kedua, Ny Latifah, melahirkan Ny. Munfarijah, istri Kiai Abu Su’ud, Jaten, Polanharjo, Klaten.

Istri ketiga, Ny. Thohiroh, melahirkan Ny. Umi Sarah, istri Kiai Marzuki, Karangmojo, Ceper, Klaten (Keistimweannya, bisa membedakan makanan halal dan yang haram. Kalau haram bentuknya makanannya menjadi ulat). Lalu, Kiai Muh Sahli, Tempursari, Klaten. Kemudian, Ny. Hj. Shofiyah istri KH. Umar Abdul Manan, Mangkuyudan, Solo. Selanjutnya, berturut-turut Kiai Abdul Hayyi, Mlangi, Demak Ijo, Sleman. Kiai Muhyidin menantu KH Muhammad Sami’un (Mursyid Thariqah Syadziliyah), Parakan Onje, Karangsalam, Purwokerto. Kiai Badrudin, Tempursari Klaten, dan KH. Imam Muftaroh, Pencol, Randusana, Geneng, Ngawi. Sedang istri keempat, Nyai Drono tidak dikarunia seorang anakpun.‎

Peran Pesantren Dalam Sejarah Bangsa Indonesia


Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat ‎pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau. 

Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. ‎
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. ‎Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah Kyai. P‎ada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.  Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.‎

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.‎

Tidak ada data resmi tentang kapan pondok pesantren pertama muncul di Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal di Nusantara sejak masuknya Islam di Indonesia. Menurut para ahli, pondok pesantren sebagai sebuah model lembaga pendidikan Islam mulai dikenal di Pulau Jawa sekitar permulaan abad ke-15 atau kurang lebih 500 tahun yang lalu. Selama kurun waktu hampir setengah milenium itu, lembaga pesantren telah mengalami banyak perubahan di berbagai segi dan telah memainkan berbagai macam peran strategis dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. 

Pada era walisongo, peranan terpenting dari pondok pesantren tampak dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pesantren dengan figur kiayi atau wali juga memiliki kekuatan politis untuk melegitimasi sebuah kekuasaan seperti yang terjadi pada kasus kerajaan Demak dan Pajang. Peran politis tersebut semakin menguat pada zaman penjajahan Belanda, dimana hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.

Adapun perkembangan pondok pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tertua di Indonesia mulai menjamur khususnya di tanah Jawa sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai “platform” penyebaran dan sosialisasi Islam.
Nurcholish Madjid, menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi.
Dalam perkembangannya, pesantren tetap kokoh dan konsisten mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan nilai-nilai Islam. Realitas ini tidak saja dapat dilihat ketika pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah kolonial Bbelanda, namun pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan pesantren justru dihadapkan pada suatu tantangan yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern. Di tengah kondisi yang demikian, di mana masyarakat semakin diperkenalkan dengan perubahan-perubahan baru, eksistensi lembaga pendidikan pesantren tetap saja menjadi alternatif bagi pelestarian ajaran agama Islam. Pesantren justru tertantang untuk tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mampu bersifat adaptatif menerima dinamika kehidupan.
Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk pendidikan di pesantren ini, kini sangat bervariasi, yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi lima tipe, yaitu: 
(1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SLTP, SMU, SMK, dan Perguruan Tinggi Umum), seperti pesantren Tebu Ireng Jombang, pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak dan pesantren Syafi’iyyah Jakarta. 
(2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, pesantren Maslakul Huda Kajen Pati (Matholi’ul Falah) dan Darul Rahman Jakarta. 
(3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, seperti pesantren Salafiyah Langitan Tuban, Lirboyo Kediri dan pesantren Tegalrejo Magelang. 
(4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim), dan 
(5) Kini mulai berkembang pula nama pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa. 

Maraknya pendidikan pesantren tipe ke-5 (Pesantren Mahasiswa) yang muncul sejak dekade 80-an ini sebenarnya menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dicermati. Hal ini bukan saja karena usia kelahirannya yang masih relatif muda, akan tetapi manajemen atau pengelolaan pesantren mahasiswa memiliki spesifikasi tersendiri. Berbeda dengan pesantren pada umumnya yang rata-rata menyelenggarakan pendidikan keagamaan untuk jenjang pendidikan dasar sampai menengah saja.
Di tengah dinamika sistem kehidupan dunia yang mulai meninggalkan nilai-nilai moral dan pranata sosial, tampak jelas geliat lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren menyiapkan peserta didiknya menjadi manusia yang tidak saja memiliki kompetensi keilmuan dan life skill yang memadahi, namun juga menjunjung tinggi aspek moral sebagai landasan berpijak. Pesantren adalah tempat dimana calon-calon pengemban amanah negara tumbuh dan belajar membekali diri dengan menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual untuk menyongsong hiruk-pikuk masa depan. Kekuatan elit pesantren tidak diragukan lagi sebagai bagian integral dari kelompok agent of change diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pencerahan masyarakat.
Berdasarkan fakta-fakta historis, sangat sulit dipungkiri keterlibatan pondok pesantren dalam membentuk dan mencerdaskan bangsa Indonesia. Namun perkembangan konstelasi politik dan sistem pendidikan di Indonesia telah sedikit banyak mengkaburkan peran tersebut sehingga seakan-akan pondok pesantren tidak memiliki kontribusi yang memadai bagi lahirnya Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat serta berketuhanan.
Tulisan ini secara ringkas mencoba untuk mengidentifikasi fakta-fakta historis peranan pondok pesantren bagi bangsa Indonesia sejak zaman pra kolonial hingga era reformasi. Kemudian fakta-fakta tersebut akan dicoba untuk dianalisa guna menjelaskan sumbangsih pondok pesantren dalam perjalanan bangsa ini.

Gambaran Umum Pesantren

Sejarah Singkat Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia

Pondok Pesantren sejatinya merupakan fenomena pendidikan Islam klasik yang terdapat sejak dari Aceh hingga Nusa Tenggara, yang muncul sejak abad ke 15, dengan berbagai nama seperti dayah (Aceh), pondok (Jawa Barat), nyantren (Madura), pesantren (Jawa Tengah dan Jawa Timur), dan sebagainya. Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, pondok pesantren lahir dan berkembang sebagai pembebas masyarakat dari keterbelengguan pendidikan (agama), sosial, ekonomi, politik dan didirikan sebagai bagian dari adaptasi budaya komunitasnya terhadap tantangan modernitas.

Pesantren sendiri pada dasarnya berari tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti tempat tinggal sederhana yang terbuat dari pohon bambu. Kata pondok bersal dari bahasa Arab “فندوق”yang berarti Hotel atau Asrama  yang secara terminologis maknanya adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajarannya diberikan dengan cara non klasikal (sistem sorongan dan bandongan) oleh seorang Kiai dengan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan santri tinggal di dalam pondok atau asrama pesantren.

Pesantren merupakan pelopor sistem pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini dapat dilihat dari perjalanan sejarah dimana bila diruntut kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i.


Menurut Suryadi Siregar, terdapat dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia ‎

Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Menurut pendapat ini, pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut kiai atau mursyid mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. 

Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri dan kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang sudah lebih dahulu diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. 

Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan berasal dari tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar dan Thailand.Tampaknya dalam permasalahan ini pendapat yang terakhirlah yang lebih kuat secara historis.
Pesantren dalam pengertian sebagai sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya di Pulau Jawa, dimulai dan dipelopori oleh Walisongo pada awal abad ke-15. hal ini karena model pesantren di Pulau Jawa pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 882 H bertepatan dengan 8 April 1419M. Syekh Maulana Malik Ibrahim dikenal juga dengan nama Sunan Gresik dimana beliau adalah orang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. 

Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga santri, yaitu Wiryo Suroso, Abu Hurairoh dan Kyai Kebang Kuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana
Sedangkan Mastuhu berpendapat bahwa kapan pesantren pertama kali didirikan dan oleh siapa, tidak ada keterangan yang pasti. 

Dan hasil pendataan pendataan Departemen Agama pada tahun 1984-1985, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062, atas nama Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura. Tetapi hal ini juga diragukan karena tentunya ada Pesantren Tan Jampes I yang sudah pasti lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Mastuhu menambahkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi nusantara  ini dalam periode abad ke-13 sampai 17 M, dan di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 M. Melalui data sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro tersebut, sangat sulit menentukan tahun berapa dan dimana pesantren pertama kali didirikan.
Pesantren di Indonesia dalam perkembangannya mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudian menjadi pusat pusat penyiaran Islam seperti; Syamsul Huda di Jembrana (Bali) Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdlatul Wathan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya.

 Walaupun tiap pesantren mempunyai ciri yang khas, namun ada 5 prinsip dasar pendidikannya, yang tetap sama yaitu;
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai
2. Santri taat dan patuh kepada kyainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh kyai
3. Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4. Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan
5. Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat

Saat ini, secara garis besar ada dua tipologi pondok pesantren yang tetap eksis di Indonesia. Yang perama tipe tradisional (salaf) dan yang kedua pesantren tipe modern (kholaf) dalam arti sudah memadukan sisem pesantren dengan sistem pendidikan sekolah moderen atau madrasah dan memuat kurikulum pelajaran umum. Menurut Gus Dur, ciri pesantren tradisional adalah cara pemberian pengajaran yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas suatu kitab tertentu. Orientasinya adalah menyelesaikan pembacaan kitab tersebut untuk kemudian dilanjutkan pada kitab yang lain. Dalam pesantren tipe tradisional ini banyak pendidikan yang pengajarannya di luar kurikulum formalnya, pengajaran tambahan yang senantiasa berubah-ubah formanya dari waktu ke waktu. Karena itu tidak didapati suatu mekanisme pendidikan yang pasti, yang ada hanyalah kesadaran tunggal bahwa pengajaran harus dilakukan dan diberikan secara berjenjang dengan kitab-kitab yang sudah tersedia.

Unsur-unsur Pesantren

Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah danrangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, danpondok pesantren di Jawa.‎ Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Adapun unsur-unsur pokok yang membedakan pondok pesanren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah:

 Pemondokan (asrama)
Pada awal perkembangannya pondok tidak semata-mata digunakan untuk mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Kyai tetapi juga sebagai tempat latihan bagi santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat.  Istilah ‘pondok’ secara terminologi adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. ‎Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya dan tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pemondokan di pesantren biasanya terdapat gedung-gedung seperti asrama santri, rumah kyai, perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian, dan lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Pemondokan didirikan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri dan sekaligus sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara kebersihan dan ketertiban lingkungan pondok

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.

Masjid
Keberadaan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat Jama’ah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia karena dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” Biasanya  bangunan masjid inilah yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren..

Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pondok pesantren karena dalam sebuah pondok pesantren harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang guru. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang guru, barulah si guru itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Biasanya santri terdiri dari dua kelompok yaitu Santri Mukim yang biasanya berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren dan Santri Kalong yang berasal dari daerah-daerah di sekitar sehingga idak perlu inggal di pondokan dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren, tetapi mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.

Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.

Kyai
Istilah “kyai” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 
(1).sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 
(2). gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 
(3). gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.

Kyai sebagai tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Pada akhirnya memang kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa serta keterampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya.

 Kitab kuning

Adanya kitab-kitab Islam klasik yang dikarang para ulama terdahulu. Perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi ciri setiap pesantren khususnya NU adalah pengajian kitab kuning, yaitu kitab yang berisi ilmu-ilmu keislaman yang ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda baca sehingga disebut juga sebagai “Kitab Gundul”.

Kitab-kitab kuning yang dipelajari di pesantren adalah kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Namun sekarang ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren. Meskipun begitu, porsi pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi ruang yang paling tinggi. Pada umumnya, pelajaran kitab dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam, bahkan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.

Biasanya dalam dunia pesantren setidaknya ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, yaitu: 
1.nahwu dan saraf (morfologi); 
2.fiqh; 
3.usul fiqh; 
4.hadis; 
5.tafsir; 
6.tauhid; 
7.tasawwuf dan etika; dan 
8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. 
Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama.

 Sistem Pendidikan Pondok Pesantren:

Pada masa lalu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari.  Te‎mpat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.

Pola pendidikan dalam pondok pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan sistemsorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren.

Adapun sitem bandongan atau wetonan merupakan sistem transformasi ilmu yang utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. ‎Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

Pesantren sekarang ini dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salaf. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).

Proses modernisasi pondok pesantren saat ini ditujukan untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.

Pondok Pesantren dalam Perjalanan Bangsa Indonesia

Peran Pesantren pada Masa Pra Kolonial

Sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, wujud pondok pesantren di Nusantara hampir bersamaan dengan datangnya umat Islam dinegeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri ini sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran Islam dalam membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Dalam teori Prof. Naquib al-Attas tentang Islamisasi masyarakat Melayu, Islam datang dengan membawa pandangan hidup baru yang ditandai oleh munculnya semangat rasionalisme dan intelektualisme. Pandangan hidup baru ini kemudian merubah pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia yang sebelumnya dikuasai oleh dunia mitologi.

Islam mampu menjadi pandangan hidup bagi sebagian besar bangsa Indonesia setelah melalui proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat, dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Pesantren dalam hal ini telah sukses berperan aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Hal ini berbeda dengan agama Hindu yang tidak mempunyai peran dalam pembinaan spiritual masyarakat awam yang kebanyakan dari kasta rendah.  Sebagai contoh di Sumatera, yang pernah dikenal sebagai pusat berkumpulnya para pemikir Hindu, misalnya, pandangan hidup Hindu hampir tidak tersentuh oleh kasta sudra yang merupakan masyarakat awam. Karena itulah pada masa kekuasaan kerajaan Hindu banyak anggota masyarakat kelas awam yang tertarik pada pandangan hidup Islam yang lebih egaliter.

Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa salah satu peran terpenting dari pondok pesantren pada zaman pra kolonial dalah sebagai agen perubahan sosial yang mampu merubah pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya dari hal yang statis dan mistis menuju pola pandangan hidup yang dinamis, rasional dan progresif yang disebut dengan proses Islamisasi. Pada gilirannya nanti, rasionalitas dan dinamisasi inilah yang kemudian memicu bangsa Indonesia untuk tergerak menentang segala bentuk kolonialisme di bumi Nusantara.

Peran pesantren yang juga menonjol bagi perjalanan bangsa Indonesia pada periode ini adalah fungsinya sebagai lembaga da’wah syiar agama Islam. Terbukti dalam sejarah bahwa pondok pesantren telah menjadi ujung tombak dalam mengenalkan Islam kepada bangsa Indonesia yang pada gilirannya nanti terbukti bahwa Islam sebagai sebuah agama telah menjadi unsur perekat bangsa Indonesia sekaligus sebagai unsur terpenting dari munculnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada masa pra kolonial ini, kita mengenal pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai yang menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para Wali menempa diri yang diantaranya  mereka kemudian disebut wali Songo yang masyhur dalam penyebaran Islam khususnya di Jawa. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Di Makassar inilah kemudian lahir Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa yang namanya masyhur di Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.

Peran pesantren yang lain pada periode ini yaitu sebagai sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan dan berupaya mencerdaskan bangsa. Kemunculan pesantren sungguh telah menjadi awal munculnya pencerdasan bangsa Indonesia, sebab melalui pesantren inilah bangsa Indonesia mulai mengenyam pembelajaran baik keagamaan maupun cara bermasyarakat dan bernegara.

Pesantren dianggap berhasil mengenalkan sistem bahasa Arab Melayu sampai pada masyarakat kelas bawah. Dengan kata lain pesantren merupakan lembaga pendidikan Indonesia pertama yang mampu membuka isolasi kultural dengan dunia luar secara luas. Pada gilirannya nanti bahasa Arab Melayu dengan huruf “pegon” telah menjadi alat pemersatu dan sekaligus sebagai alat atau media ekspresi para ilmuwan dan pujangga di tanah Melayu dan Indonesia. Saat ini pun kita masih bisa menjumpai hasil karya di bidang sastra yang luar biasa tinggi nilainya yang ditulis dengan aksara pegon.

Peran Pesantren pada Masa Kolonial

Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, penyebaran ajaran Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Begitu pula yang terjadi ketika Belanda mulai bercokol di bumi Nusantara, penyebaran Islam dan pendidikan Islam masih menjadi salah satu peran pokok dari pondok pesantren. Namun disamping itu, pada masa awal penjajahan Belanda banyak tokoh-tokoh pesantren yang terpanggil menjadi tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia dan gigih terlibat dalam berbagai perlawanan menentang Belanda. Sebagai contoh misalnya dalam perang Dipenogoro di Jawa -selain Pangeran Diponegoro sendiri adalah santri beliau  juga dibantu oleh Kyai Mojo dan Sentot Prawirodirjo yang merupakan elit pesantren. Mereka bahu membahu menentang penjajah Belanda yang dalam pemahaman mereka adalah kafir. 

Selain Pangeran Diponegoro, kasus yang hampir sama terjadi pada Perang Paderi dengan tokoh sentralnya Imam Bonjol yang juga tergolong dari kaum santri. Perang Aceh mengenalkan kita pada Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Muthia, Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro dan kawan-kawan yang kesemuanya merupakan didikan dayah di Aceh. Bahkan yang paling akhir kita mengenal KH. Zenal Mustofa dari Tasikmalaya dengan santrinya memberontak penjajah Jepang, sehingga banyak diantara mereka yang gugur di medan perang menjadi syuhada. Kemudian ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kyai dan santri mendirikan tentara Hizbullah dan Sabilillah sebagai bentuk manifestasi jihad melawan kekafiran. Laskar Hizbullah dan Sabilillah kemudian yang berkontribusi pada terbentuknya BKR dan TKR  yang merupakan cikal bakal TNI.

Pesantren yang hadir hingga di pelosok-pelosok pedesaan, mampu mengembangkan masyarakat Muslim yang solid, yang pada gilirannya berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Masyarakat Muslim yang solid ini kelak menjadi modal yang kuat bagi persatuan bangsa Indonesia sehingga bangsa ini bisa berdiri sebagai bangsa yang merdeka. 

Pengaruh kyai dari pesantren ternyata tidak hanya terbatas pada masyarakat awam, tapi juga menjangkau istana-istana. Kiai Hasan Besari, dari pesantren Tegalsari Ponorogo, misalnya berperan besar dalam meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura. Bukan hanya itu, pesantren dulu juga mampu melahirkan pujangga. Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah santri Kiai Hasan Besari Tegalsari yang berhasil menjadi Pujangga Jawa terkenal.

Pada awal abad ke-20 Kyai Kholil, Bangkalan-Madura mendorong dan merestui KH Hasyim Asy'ari untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia. Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan KH Hasyim Asy'ari di Makkah, yaitu KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" .

Awal abad ke-20 antara tahun 1900-1930 adalah periode kebangkitan intelektual di wilayah yang kemudian disebut sebagai Nusantara. Pada periode ini berdirilah Syarekat Islam (sebelumnya Syarekat Dagang Islam) yang di arsiteki H. Samanhudi dan HOS Cokroaminoto yang lagi-lagi orang pesantren. Bahkan menurut banyak sumber, kelahiran Syarekat Dagang Islam sebagai sebuah organisasi nasional lebih dahulu dari pada Budi Utomo.   Pada periode ini berdiri pula beberapa pesantren seperti Pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo (1914), Pesantren Cipasung (1931), Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad) Mangkoso (1939) dan sebagainya. Pondok-pondok tersebut lahir dan berkembang sebagai respon atas hegemoni kolonial Belanda yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, terutama hak memperoleh pendidikan.

Menurut K.H. Miscbach, seorang tokoh dari kalangan ulama, dalam Mubes I Ittihad al-Ma’ahid Islamiyah pada tanggal 2-3 Agustus 1969 ia mengatakan bahwa pesantren merupakan kubu pertahanan mental masa-masa kolonialis Belanda. Artinya, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu dominan dipengaruhi pesantren. Tentu, ini dikarenakan tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini Belanda sebagai penjajah.

Pesantren juga sukses dalam memberantas buta huruf pada masyarakat akar rumput di masa penjajahan dengan mengenalkan sistem bahasa Arab Melayu. Di lain hal, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat muslim Indonesia yang pertama membuka isolasi kultural dengan dunia luar. Hal ini adalah bentuk kemampuan pesantren dalam mengaktualkan bahasa Arab. Turunannya adalah membuka wacana bangsa hingga dapat berinteraksi dengan dunia dan keilmuan yang lebih luas. Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, bahkan politikus kaliber internasional.

Peran Pesantren pada Masa Kemerdekaan

Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran para elit pesantren juga sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir dan beberapa orang lagi adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat merujuk segala persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia peran mereka tidak diragukan lagi.

Pada masa pasca Kemerdekaan Indonesia, munculah para tokoh pendidikan seperti Ki Hasyim ‘Asy’ary dari Nahdlatul Ulama, Mohammad Dahlan dari Muhammadiyyah, KH. Agus Salim, HOS. Cokroaminoto (guru dari Soekarno, Tan Malaka, dan Kartosuwiryo) serta banyak lagi yang lainnya. Mereka semua adalah para tokoh jebolan pesantren yang begitu besar jasanya terhadap kemerdekaan dan konsen pada pengembangan pendidikan di Indonesia.

Dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencatat sebuah peristiwa dahsyat di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Hari tersebut saat ini diperingati sebagai hari pahlawan. Dalam peristiwa tersebut Sutomo yang didukung oleh arek-arek Surabaya berjuang mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah air. Bahkan KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 20 November 1945 mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk mempertahankan tiap jengkal tanah air Indonesia. Keterlibatan pesantren dan kaum santri dalam peristiwa-peristiwa perlawanan terhadap penjajah sangat sulit untuk dipungkiri, cuma sangat disayangkan bahwa dalam penulisan sejarah peran mereka sepertinya sengaja dimarjinalkan.  

Pada perkembangan selanjutnya, alumni-alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Mohammad Rasyidi, alumni pondok Jamsaren adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, menjadi Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH. Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Ditambah lagi dari kalangan 'moderen' sempat menyumbangkan tokoh-tokoh penting di pemerintahan, seperti Mukti Ali di lingkup Departemen Agama, Muhammad Natsir yang pernah menjadi perdana menteri, serta Syafrudin Prawiranegara yang sempat menjadi perancang ekonomi nasional maupun perdana menteri. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kyai dan alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.

Peran Pesantren pada Masa Orde Lama

Pada Orde Lama dimana Soekarno semakin nampak sebagai seorang diktator sejak ia diangkat menjadi presiden seumur hidup. Sebenarnya, sedikit banyak ada juga peran dari pesantren dalam proses pencitraan Soekarno yang kemudian berhasil menjadi penguasa mutlak di Indonesia. Elit pesantren NU bahkan pada tahun 1954 malah menyematkan gelar ‎waliyul amri adh dhorury bi asy syaukah bagi Soekarno yang berarti menambah legitimasi kekuatannya. Keputusan ini sangat ditentang oleh Masyumi dan pesantren-pesantren yang menyokongnya sebab bisa menghalangi perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara yang akan diperjuangkan dalam sidang konstituante.

Pada masa Soekarno menggalakkan ideologi yang saling bertentangan, yaitu Islamisme, Nasionalisme dan Komunisme (Nasakom), maka kyai-kyai NU kemudian mengambil jalan tengah mendukung konsep Nasakom yang digagas oleh Soekarno yang saat itu benar-benar sebagai penguasa mutlak. Kyai-kyai NU juga mendukung terhadap keputusan Presiden Soekarno untuk melakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai cara untuk mengakhiri perdebatan di dalam Sidang Konstituante yang berlarut-larut selama 3,5 tahun. Perdebatan di Dewan Konstituante memang sangat meruncing dan cukup mengkhawatirkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Perdebatan ini akhirnya tidak menghasilkan keputusan tentang dasar negara apakah Islam, Komunisme atau Pancasila. Menurut Soekarno, Dekrit Presiden untuk kembali ke Pancasila, UUD 1945 dan NKRI merupakan keputusan yang harus diambil karena menghindarkan keterpecahbelahan kesatuan dan persatuan bangsa.

Adapun pesantren-pesantren lainnya yang tidak berafiliasi ke NU justru kebanyakan berada di luar lingkaran pemerintahan dan tidak mau berkompromi dengan keberadaan PKI di bumi Indonesia yang berketuhanan. PKI dalam mainstream mereka adalah kumpulan orang-orang kafir yang menghinakan agama. Pesantren-pesantren yang semacam inilah yang kemudian menjadi korban dan target sasaran PKI dalam menjalankan agenda-agenda politiknya. Banyak tokoh-tokoh ulama yang kritis terhadap Nasakom dan para kyai langgar yang menjadi korban pembantaian PKI. Kekuatan pesantren oposisi inilah yang kemudian merapat mendekati Angkatan Darat karena mempunyai misi yang hampir sama.

Dalam perkembangannya, ternyata PKI sebagai salah satu kekuatan Nasakom melakukan kudeta berdarah dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para jendral angkatan darat yang mereka sebut sebagai anggota Dewan Jendral. Tindakan ini sebenarnya blunder besar bagi perjalanan PKI di Indonesia. Karena blunder tersebut, pencitraan PKI di masyarakat memburuk dan oleh Angkatan Darat bersama dengan dukungan dari pesantren berhasil menumpas PKI  dan antek-anteknya di bumi pertiwi. Pada sekitar tahun 1965 sampai 1967 ketika mahasiswa melalui KAMI, HMI, PII, dan lainnya bergerak melalui demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran PKI di Indonesia maka pesantren tidak mau ketinggalan dengan melakukan penyadaran di tingkat grass root, bahkan mereka turut serta dalam pembasmian anggota-anggota PKI.

Peran Pesantren pada Masa Orde Baru

Di era Orde Baru pembangunan fisik di segala bidang di galakkan oleh Soeharto. Akan tetapi kekuatan Islam yang dahulu ikut menaikkannya ke tampuk kekuasaan ternyata oleh Soeharto sengaja di marginalkan. Proses marginalisasi peran politik ummat Islam semakin menjadi ketika pemerintah memaksakan fusi bagi partai-partai Islam menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Tokoh-tokoh partai Islam yang kebanyakan berasal dari peantren kemudian balik ke ‘kandang’ masing-masing sehinggga pesantren berusaha menempatkan dirinya pada wilayah yang netral, yang bersih dari efek pergesekan dengan dunia politik. Meski demikian, terdapat pula beberapa pesantren yang tumbuh sebagai identitas keIslaman yang berbeda suara dengan pemerintah. Pada periode ini lahir beberapa pesantren seperti Pesantren Istiqlal Ciranjang Cianjur (1963), Pesantren al-Mukmin Ngruki (1967), Pesantren Darul Istiqomah Maccopa Maros (1967), dan Pesantren Qomarul Huda Bagu, Lombok Tengah (1972)

Pada periode 1980-an, pesantren lebih banyak mencerminkan peran sosialnya, terutama sebagai penguat masyarakat sipil ditengah hegemoni negara yang mencengkeram kuat rakyatnya, adapun peran politiknya bisa dikatakan terkebiri sejak LB Moerdani dan Ali Murtopo menjadi orang penting di ring I Soeharto. Pada periode ini lahir pesantren-pesantren seperti Pondok Modern Muhammadiyah (1983), Pesantren Edi Mancoro Salatiga (1984) dan sebagainya.

Pada masa Orde Baru ini, ditengah kekuasaan yang hegemonic, kalangan pesantren secara umum mengambil sikap oposisi terhadap kekuasaan karena banyak kebijakan-kebijakan LB Moerdani dan Ali murtopo yang sengaja menyudutkan umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa masyoritas masyarakat pesantren tidak berafiliasi terhadap partai mayoritas. Namun peran yang lebih tegas ditunjukkan pasca tahun 1984 dimana kalangan pesantren mulai menjadi tempat persemaian kekuatan masyarakat sipil. Gerakan pemberdayaan masyarakat melalui pesantren mulai gencar dilakukan. Relasi yang awalnya oposisi mutlak dengan penguasa mengalami dinamisasi menjadi lebih taktis. Dengan cara yang demikian tanpa mengurangi kemandirian dan kekritisannya pesantren dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk tujuan pemberdayaan masyarakat.

Pada periode ini beberapa pesantren besar mengalami penurunan jumlah santri secara signifikan dikarenakan adanya peraturan dari pemerintah di bidang pendidikan yang tidak mengakui ijazah pesantren. Hal ini tidak lantas mematikan pesantren dan  perannya di dalam masyarakat, tetapi justru banyak pesantren yang kemudian berlomba-lomba menyesuaikan diri dengan membangun madrasah-madrasah yang diakui pemerintah dan tentunya mengajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu keagamaan. Animo masyarakat untuk sekolah di madrasah-madrasah di bawah pesantren pun ternyata luar biasa besarnya, sehingga pesantren tidak sampai kehilangan fungsi dan peran khusunya di ranah pendidikan.

Ketika pengetahuan agama dan umum sama-sama diajarkan  di pesantren, maka sebaran distribusi alumni pesantren menjadi semakin luas. Banyak santri yang kemudian melanjutkan studinya ke perguruan tinggi umum non perguruan tinggi agama Islam. Para santri ini kemudian mengembangkan kajian-kajian agama secara informal dan intensif yang melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak memilik background agama. Pada akhir 70-an dan awal 80-a, kajian-kajian tersebut kemudian menguatkan pergerakan-pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM, LDK, usrah-usrah, aktifitas masjid kampus dan lain-lain yang kesemuanya tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi alumni-alumni pesantren.

Harus diketahui, bahwa pada periode ini tumbuhlah pemikir-pemikir Islam kaliber Internasional yang berasal dari kaum santi seperti Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Musthofa Bisri di bidang budaya, dan sebagainya.  Pada gilirannya nanti, tokoh-tokoh di atas lah yang dengan lantang berani mengemukakan isu-isu perubahan nasional dan isu suksesi yang pada masa Soeharto adalah sesuatu yang tabu.

Peran Pesantren pada Masa Reformasi

Dari masa ke masa, ranah pendidikan tetaplah menjadi wilayah strategis bagi pondok pesantren untuk menunjukkan perannya. Tapi, di era reformasi para elit pesantren banyak yang terseret arus untuk terjun dalam percaturan politik. Akibatnya banyak pesantren-pesantren yang secara akademis “terlupakan” oleh para kyainya sendiri karena disibukkan oleh kegiatan politik. Bahkan ada beberapa pesantren yang iklimnya “memanas” gara-gara para elitnya berseberangan partai. 

Kasus pesantren di Jawa Timur sangat unik karena banyak pesantren yang para pengelolanya mengalami konflik internal karena di sebuah pesantren saja ada Kyai yang di PKB, kemudian Kyai satunya di PKNU, satunya lagi PPP, atau di Partai Golkar dan sebagainya. Kran demokrasi era reformasi yang terbuka lebar seakan-akan menjadi kesempatan emas bagi para elit pesantren untuk berkiprah di dunia politik dimana di era Orde Baru akses untuk ini tertutup rapat.

Alam reformasi telah memunculkan sejumlah nama tokoh yang tidak lepas dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung. Amien Rais, pendiri PAN dan mantan Ketua MPR; Abdurrahman Wahid, pendiri PKB sekaligus mantan Presiden RI ke-4; Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS sekaligus Mantan Ketua MPR; Hasyim Muzadi, mantan Ketua PB NU dan Hamzah Haz mantan Wakil Presiden RI; Nurcholis Madjid, Rektor Paramadina; dan selainnya adalah beberapa nama tokoh dari dunia pesantren yang aktif berperan dalam pembangunan dan penataan kembali bangsa Indonesia. Hal ini tidak saja menunjukkan kualitas pendidikan pesantren dalam mencetak pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa tapi membuktikan besarnya kepedulian santri terhadap problematika bangsa ini.
Setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula pesantren berperan bagi pembangunan negara. Dalam kondisi seperti ini posisi pesantren semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi obyek dari kepentingan sesaat para politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi malu dengan identitas kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan seperti PKB, PKU, PNU, PBR, PKNU dan sebagainya.

Jika kini beberapa gelintir alumni pesantren dituduh terlibat dalam berbagai aksi terorisme, maka tidak pada tempatnya jika kemudian peran dan potensi pesantren dalam membangun bangsa ini, baik di masa lalu maupun di masa depan, dinafikan. Jangan-jangan itu hanya rekayasa pihak-pihak yang takut dengan dominasi pesantren di kancah perpolitikan nasional saat ini. Sehingga mereka membuat berbagai fitnah untuk menyudutkan pesantren. Dalam menghadapi isu-isu ini, pemerintah seharusnya tidak perlu lagi mempertanyakan apa peran dan fungsi pesantren dalam membangun negara ini, yang justru perlu dipertanyakan adalah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membangun pesantren sebagai sebuah kekayaan bangsa yang orisinil.‎

Babad Termas (Sejarah Pesantren Termas Pacitan)


Pondok Tremas adalah salah satu pondok yang cukup tua umurnya, yang kalau ditinjau dari letak geografisnya berada di desa Tremas, Kecamatan Arjosari, kabupaten Pacitan. Sedangkan Pacitan adalah sebuah kota di tepi pantai selatan yang terletak pada garis lintang selatan : 8' 3 – 8' 17 bujur timur 11' 2 – 11' 28.

Dilihat dari segi jaraknya, yakni 135 Km dari kota Solo dan 70 Km dari kota Ponorogo, maka wajarlah kalau santri-santri yang berdatangan dari daerah lain harus berjalan kaki karena belum adanya sarana transportasi. 

Sedangkan desa Tremas terletak pada 11 kilometer dari kota Pacitan ke utara dan1 kilometer dari kecamatan  Arjosari. Desa Tremas dipagari oleh bukit-bukit kecil yang melingkar dimana sebelah utara dan sebelah timur desa Tremas mengalir sungai Grindulu yang selalu membawa lumpur banjir di waktu musim penghujan. Oleh karenanya pondasi rumah penduduk desa tersebut rata-rata sangat tinggi bila dibandingkan dengan pondasi rumah penduduk di daerah yang bebas banjir.

Desa Tremas dibatasi oleh beberapa desa yaitu, sebelah utara dibatasi oleh desa Gayuhan, sebelah timur dibatasi oleh desa Jatimalang, sebelah selatan dibatasi oleh desa Arjosari dan di sebelah barat dibatasi oleh desa Sedayu. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, yakni bercocok tanam padi, kacang tanah, kelapa, pisang, sayur mayur dan sebagainya. Karena Pacitan merupakan daerah yang minus dan tandus maka tidaklah aneh jika masyarakatnya sedikit ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat daerah lain, khususnya dalam bidang ekonomi.Dengan uraian tersebut kita dapat menggambarkan kehidupan rakyat di daerah itu, yang sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaan Pondok Tremas

Tremas berasal dari dua kata yaitu Trem berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita.

Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya. 

Dikisahkan pada suatu hari, Raja Keraton Surakarta memerintahkan kepada punggawanya yang bernama Ketok Jenggot untuk menjaga ketat kerajaannya, karena raja bermimpi bahwa hari yang akan datang mau ada bencana yang disebabkan datangnya seorang pencuri yang akan memasuki dan mengambil senjata pusaka yang ada di tempat penyimpanan, maka disuruhnyaKetok Jenggot menjaga dan mempertahankan dengan sebaik-baiknya.

Namun pada suatu hari datang seorang penyusup yang dengan kecerdikannya dapat masuk dalam keraton, akan tetapi usaha penyusup tersebut terlihat oleh Ketok Jenggot hingga terjadilah suatu perkelahian, setelah menghabiskan berpuluh-puluh jurus, maka dengan kesaktiannya, Ketok Jenggot berhasil memenangkan perkelaihan tersebut. Siapakah pencuri tersebut? tak lain adalah sang raja sendiri dengan maksud ingin menguji sampai dimana keperwiraan dan kesaktian Ketok Jengot.

Setelah kejadian itu, maka sang raja pun mengakui bahwa punggawanya tersebut benar-benar patuh dan sakti. Sebagai tanda atas kepatuhan dan kepahlawanannya itu maka sang raja memberikan hadiah kepada Ketok Jenggot berupa senjata Patrem Emas dan memberi tugas untuk membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta.

Demikianlah akhirnya setelah melalui perjuangan yang tidak ringan, Ketok Jenggot berhasil membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta, yang kemudian daerah tersebut bernama Tremas.

Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan). Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.

Demikianlah sekilas cerita tentang asal mula nama Tremas yang dikemudian hari digunakan untuk menyebut sebuah pesantren yang berdiri di daerah tersebut, sedangkan Ketok Jenggot sendiri akhirnya bermukim disitu sampai akhirhaya dan dimakamkan di daerah tersebut. 

Babad Tremas – asal muasal Berdiri Pesantren

Pada abad ke XV M. bumi nusantara ini di bawah naungan kerajaan Majapahit, dan seluruh masyarakatnya masih memeluk agama Hindu atau Budha. Begitu juga daerah Wengker selatan atau di sebut juga Pesisir selatan (Pacitan) yang pada waktu itu daerah tersebut masih di kuasai seorang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang di kenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan. 

Menurut silsilah, asal usul Ki Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. Setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama Ki Ageng Bana Keling. Kegoncangan masyarakat Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki Ageng Petung (R. Jaka Deleg/Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/KI Ampok Boyo) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta Ki Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam. 

Namun setelah Ki Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama, karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V). 

Dari saat itulah maka daerah Wengker selatan atau Pacitan dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat hingga wafatnya, dan dimakamkan di daerah Pacitan. 

Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa (tahun 1826), perkembangan agama Islam di Pacitan maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten (2 Km arah utara kota Pacitan). setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, maka dari saat itulah mulai berdiri Pondok Tremas. 

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan. Dalam masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahua agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunannya, kerajinannya serta kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso didalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya, sehingga tersebutlah sampai sekarang kisah-kisah tentang kelebihan beliau. 

Diantara kisah tersebut adalah sebagai berikut : 

Pada suatu malam yang dingin dimana waktu itu para santri Pondok Tegalsari sedang tidur pulas, sebagaimana biasasnya Kyai Hasasn Besari keluar untuk sekedar menjenguk anak-anak didiknya yang sedang tidur di asrama maupun di serambi masjid. Pada waktu beliau memeriksa serambi masjid yang penuh ditiduri oleh para santri itu, tiba-tiba pandangan kyai tertumbuk pada suatu pemandangan aneh berupa cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya, apakah gerangan cahaya aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian, apalagi cahaya api tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan. kemudian dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, kyai mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut keheranan kyai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Dan kemudian apa yang disaksikan kyai adalah suatu pemandangan yang sungguh luar biasa, sebab cahaya itu keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya. 

Kemudian diperiksanya siapakah sesungguhnya santri yang mendapat anugerah itu.Tetapi kegelapan malam dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia lanjut menyebabkan usaha beliau gagal. 
Namun Kyai Hasan Ali tidak kehilangan akal, dengan hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai tanda untuk mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang. Esoknya sehabis sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala masing-masing. 
Disinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya berasal dari salah satu santri muda pantai selatan (Pacitan) yang tidak lain adalah Bagus Darso. Dan semenjak itu perhatian Kyai Hasan Ali dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, sebab beliau merasa mendapat amanat untuk mendidik seorang anak yang kelak kemudian hari akan menjadi pemuka dan pemimpin umat.

Demikianlah salah satu kisah KH. Abdul Manan pada waktu mudanya di Pondok Tegalsari dalam cerita. Dan setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmu yang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau kembali pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dan karena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo. 

Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliu pindah ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat cocok bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama. 

Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “Pondok Tremas“. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M

Babad Tremas - Periode KH. Abdul Manan  1830-1862

Setelah Bagus Darso (nama kecil KH. Abdul Manan) menyelesaikan pelajarannya di Pondok Tegalsari Ponorogo, beliau lantas mendirikan pondok di daerah Semanten [2km arah utara kota Pacitan], Namun dikemudian hari pondok tersebut akhirnya dipindah ke Tremas.

Usaha pertama kali yang dilakukan untuk membangun tempat pengajian sudah barang tentu mendirikan sebuah masjid (terletak agak ke sebelah timur dari masjid yang sekarang). Dan setelah santri-santri dari jauh yang sebagian berasal dari bekas santri-santrinya di Semanten mulai berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama pondok di sebelah selatan masjid. Sudah barang tentu keadaan masjid dan asrama pondok pada waktu itu masih sangat sederhana sekali, atapnya masih menggunakan daun ilalang dan kerangka lainnya masih banyak yang menggunakan bahan dari bambu.

Perkembangan Pondok Tremas pada masa itu sumber dananya diperoleh dari mertuanya, yaitu Demang Tremas Raden Ngabehi Honggowijoyo, karena membangun pondok adalah memang merupakan tujuan utama dari Raden Ngabehi Honggowijoyo untuk mengambil Bagus Darso sebagai menantu.

Adapun pengajian-pengajian pada awal berdirinya masih belum banyak berbeda dengan pengajian pada masa pondok masih terletak di Semanten, yang antara lain :
> Pasholatan
> Ilmu Taukhid 
> Fiqh, Tafsir dan lain-lain 

Jadi karena Pondok Tremas pada waktu itu masih dalam taraf permulaan dan santrinya juga belum sebanyak pada periode sesudahnya, maka kitab-kitab yang dipakainya juga masih dalam tingkatan dasar.

Demikianlah keadaan pembangunan Pondok Tremas pada masa periode KH. Abdul Manan, hingga wafatnya pada hari Jum’at (minggu pertama) bulan Syawal 1282 H. dan dimakamkan di desa Semanten. Beliau meninggalkan tujuh orang putra, yang antara lain adalah KH. Abdulloh

Periode KH. Abdulloh 1862-1894

Sepeninggal KH. Abdul Manan, maka pengasuh atau pimpinan digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdulloh. Pada masa kecilnya beliau mendapatkan pelajaran dasar dari ayahnya sendiri di Pondok Tremas.

Setelah cukup dewasa KH. Abdullloh diajak oleh ayahnya pergi ke Makkah Al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dan menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Setelah beberapa tahun di Makkah beliau kembali ke Tremas lagi, dan membantu ayahnya mengajar di Pondok Tremas.

Setelah Pondok Tremas mulai dikenal di daerah-daerah lain, dan kealiman serta keluasan ilmu yang dimiliki beliau, maka mulailah terlihat tanda-tanda bahwa Pondok Tremas yang dimulai dari ilalang dan bambu itu dikemudian hari akan membesar menjadi sebuah pondok yang sangat membahagiakan setiap orang yang mencintainya.

Demikianlah, dalam periode ini mulai berdatangan beberapa santri yang berasal dari daerah lain, seperti Salatiga, Purworejo, Kediri dan lain-lain. Pada waktu itu baik jalan Pacitan-Ponorogo maupun Pacitan-Solo belum ada kendaraan, sehingga orang yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam (mengaji) ke Pondok Tremas harus berjalan kaki dengan melewati gunung-gunung dan hutan yang pada waktu itu masih cukup lebat.

Dapat dibayangkan betapa sukar dan beratnya perjalanan mereka waktu itu. Namun demikian, karena didorong oleh suatu keyakinan yang membaja bahwa perjalanan dalam rangka menuntut ilmu agama Islam adalah perjalanan suci, dimana kematian pada jalan ini mempunyai nilai yang sama dengan kematian jihad fisabilillah, maka keadaan alam Pacitan yang sangat berat itu tidak akan pernah melemahkan tekad mereka untuk sampai ke tempat tujuan. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadist yang artinya :

Abu Darda’ dan Abu Hurairah RA. Berkata, Rosululloh SAW. Bersabda : “Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari oleh seseorang itu lebih kucintai daripada menjalankan sholat sunat seribu rakaat “. Kata mereka selanjutnya : Rosululloh SAW. Bersabda : “ Apabila kematian merenggut seorang pelajar yang sedang dalam keadaan menuntut ilmu, maka ia adalah mati syahid “. (Riwayat Al-Bazaar dan Thabrani)

Demikianlah serentak dengan semakin bertambahnya santri-santri dari daerah lain, maka kebutuhan akan tempatpun semakin mendesak dan terasa sangat perlu dibangun asrama baru untuk tempat tinggal mereka. Untuk memenuhi keperluan tersebut maka dibangunlah sebuah asrama di sebelah selatan jalan, yang di masa KH. Dimyathi terkenal dengan nama “Pondok Wetan“. Demikan juga dalam bidang pendidikan, pada masa KH. Abdulloh ini juga mengalami perkembangan, hal itu disebabkan karena santri lama yang sudah menamatkan kitab-kitab dasar perlu juga dilanjutkan, dan untuk itu harus dibacakan beberapa kitab yang lebih tinggi. 

Sedang santri lama yang sudah cukup pandai dapat diserahi membaca kitab-kitab dasar bagi santri baru, sementara kyai meneruskan membaca kitab lanjutan untuk santri lama. Begitulah perkembangan Pondok Tremas baik segi fisik maupun pendidikannya. Meskipun perkembangan pada masa KH. Abdulloh ini tidak begitu menyolok bila dibandingkan dengan keadaan Pondok Tremas pada masa KH. Abdul Manan, namun sepanjang KH. Abdulloh memimpin Pondok Tremas telah berhasil meletakkan suatau batu landasan sebagai pangkal berpijak kearah kemajuan dan kebesaran serta keharuman Pondok Tremas dikalangan pondok pesantren khususnya dan pendidikan Islam umumnya.

Keberhasilan KH. Abdulloh dalam meletakkan batu landasan tersebut adalah keberhasilan beliau dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, tapi lebih daripada itu juga telah berhasil menyusun berbagai macam kitab yang bernilai dalam ilmu pengetahuan agama Islam, sehingga kemudian muncullah sebutan “Attarmasie“ yang memperoleh tempat tersendiri dalam dunia ilmu pengetahuan agama Islam di negara Arab.Barangkali karena pengalaman KH. Abdulloh dalam menuntut ilmu di Makkah, sehingga kemudian putra laki-lakinya semua dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Putra pertama yang dikirim ke Makkah bersamaan musin haji adalah Muhammad Mahfudz. Setelah mukim disana beliau menuntut ilmu dengan tekun dibawah asuhan guru utamanya yaitu Syeikh Abu Bakar Syatha sehingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram.

Setelah beberapa tahun Syeikh Mahfudz dikirim ke Makkah, KH. Abdulloh menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya dengan mengikut sertakan beberapa putranya yang lain, yaitu K. Dimyathi, K. Dahlan, K. Abdur Rozaq dengan maksud agar setelah selesai ibadah Haji mereka akan ditinggalkan di Makkah untuk menuntut ilmu dibawah bimbingan Syeikh Mahfudz dan beliau sendiri akan kembali ke Tremas untuk mengajar santri-santrinya yang selama menunaikan ibadah Haji ke Makkah, Pondok Tremas untuk sementara diserahkan kepada menantunya yang bernama Kyai Muhammad Zaed (Suami Nyai Tirib/Nyai khotijah). Namun apa boleh buat, rupanya Allah Swt. Menghendaki KH. Abdulloh kembali kehadirat-Nya di tanah suci Makkah Almukarromah. Hingga wafatlah pada hari senin malam selasa, 29 Sya’ban 1314 H.

Sepeninggal KH. Abdulloh, untuk beberapa lama Pondok Tremas masih dipimpin oleh Kyai Muhammad Zaed, sementara menanti kedatangan KH. Dimyathi yang kemudian akan meneruskan karya ayah dan kakeknya dalam mengabdi kepada agamanya. 

Sementara itu KH. Dahlan setelah kembali dari Makkah kemudian dikawinkan dan diambil menantu oleh Kyai Shaleh Darat Semarang. Kemudian mukim disana hingga wafatnya pada hari Ahad, 7 syawal 1329 H. Dan kemudian dimakamkan di Bergota Semarang, dimana pusaranya berjejer dengan pusara Kyai Saleh Darat Semarang.


Adapun putra-putra KH. Abdulloh lainnya, sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, mereka juga memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Kalau KH. Dimyathi termashur karena kesuksesannya dalam membina dan mememajukan pondok, Maka KH. Muhammad Bakri teristemewa dangan Al-Qur’annya, dan KH. Abdurrozaq mempunyai kekhususan dalam bidang thoriqoh, dimana beliau menjadi seorang Mursyid yang mempunyai murid dimana-mana. Beliau wafat pada tanggal 3 April 1958, dan dimakamkan di Tremas

Periode KH. Dimyathie 1894-1834

Setelah kita ikuti perkembangan Pondok Tremas pada masa KH. Abdulloh dan bagaimana beliau berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama-ulama yang tangguh baik dalam ilmu maupun dalam amalnya, maka tibalah kini pada masa dimana Pondok tremas dipimpin oleh beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi. Suatu masa dimana Pondok Tremas telah mencatat perkembangan yang pesat, baik perkembangan fisiknya maupun perkembangan pendidikannya. Dan pada masa inilah Pondok Tremas berhasil melahirkan kader-kader ulama yang kemudian mempunyai peranan besar dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Semenjak masa KH. Abdulloh Pondok Tremas sudah mulai dikenal di daerah-daerah lain. Sehingga tahun kepopuleran dan kemashuran Pondok Tremas semakin bertambah, lebih-lebih setelah kitab Syeikh Mahfudz seperti yang kami sebutkan diatas mulai beredar di pulau Jawa dan di tanah Melayu dengan istilah “Attarmasie“, maka makin banyaklah orang-orang dari daerah lain yang berkeinginan kuat untuk untuk menuntut ilmu agama Islam di Pondok Tremas.

Dengan datangnya para santri yang semakin banyak maka timbullah kebutuhan tentang dibangunnnya asrama-asrama baru. Tetapi kali ini masalahnya tidak akan selesai begitu saja dengan dibangunnya asrama tersebut, sebab masalah lain yang berhubungan dengan suasana tata bangunan pondok harus dipikirkan pula, sehingga pembangunan asrama tersebut tidak akan mengganggu dan membawa akibat ketidakteraturan suasana. Berdasarkan pertimbangan inilah maka KH. Dimyathi kemudian mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan masjid yang sejak masa KH. Abdul Manan terletak disebelah timur dari masjid sekarang ketengah-tengah pekarangan.

Demikianlah perkembangan pembangunan pondok yang disebabkan makin bertambahnya santri, hingga pada waktu itu jumlah santri hampir mendekati 2000 orang. Seluruh tanah milik kyai hampir semuanya sudah didirikan bangunan-bangunan untuk asrama, baik disebelah selatan jalan, maupun disebelah utara jalan. Masing-masing asrama didirikan dan ditempati oleh santri-santri yang berasal dari satu daerah, oleh karenanya nama-nama pondok atau asrama pada masa itu tergantung dari santri yang bertempat di asrama tersebut, misalnya pondok Cirebon, pondok Pasuruan, pondok Tegal, pondok Solo, pondok Ngawi, pondok Malaysia, pondok Singapura dan sebagainya.

Disamping itu karena perkembangan pendidikan ilmiah juga semakin pesat, maka pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi ini pula didirikan sebuah gedung yang digunakan untuk madrasah. Hingga perkembangan ilmiah pada masa KH. Dimyathi ini sangat menyolok bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada tahun-tahun permulaan pengajian-pengajian masih ditangani langsung oleh kyai sendiri, tetapi setelah usia kyai bertambah lanjut maka ada beberapa kitab yang diserahkan kepada beberapa orang santri yang oleh KH. Dimyathi dianggap sudah mampu untuk membaca kitab dan menerangkan atau menjelaskan kepada santri yang lain.

Diantara kitab-kitab yang dibaca pada waktu itu banyak mengalami penambahan-penambahan, diantaranya adalah;
فتح المعين
    تعليم المتعلم
    احياء علوم الدين
    تفسير الجلالين
    الفية ابن مالك
    منهاج القويم
    صحيح البخارى
صحيح مسلم

Semua kitab-kitab itu diajarkan menurut sistem pengajian yang biasa berlaku di pondok pesantren pada umumnya, misalnya dipakai sebagai kitab pengajian wetonan dan juga sebagai kitab sorogan.

Kemudian pada tahun 1928 M. beberapa santri yang mempunyai pengalaman belajar dibeberapa daerah mengajukan gagasan untuk mengadakan sistem pendidikan madrasah (klasikal), disamping pengajian-pengajian yang sudah berjalan. Rupanya terhadap gagasan tersebut kyai tidak menaruh keberatan apa-apa bahkan merestui, maka dalam tahun itu pula didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Ibtidaiyyah. Murid pertama madrasah ini sebanyak 30 ( tiga puluh ) anak. 

Namun jika dibandingkan jumlah para santri yang hampir mencapai 2000 orang maka jumlah 30 orang siswa ini menunjukkan bahwa minat para santri terhadap sistem pengajaran semacam ini masih sangat kurang sekali. Dan memang demikianlah kenyataanya, sebab bagi mereka yang sudah terbiasa mengaji dengan tidak pernah terkena kewajiban menghafal, tamrinan dan lain sebagainya, maka sistem madrasah ini tidak menarik sama sekali. Oleh karena itu tidak mengherankan bila madrasah Ibtidaiyah itu kemudian hanya berumur beberapa bulan saja.

Namun demikian usaha-usaha untuk mengadakan perkembangan pendidikan dengan sistem madrasah itu tidak pernah berhenti. Sehingga akhirnya pada tahun 1932 M. dengan dipelopori oleh beliau Kyai Hamid Dimyathi didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Salafiyah. Pada mulanya madrasah tersebut hanya diperuntukkan bagi anak-anak desa sekitar ( masyarakat ), tetapi setelah Kyai Hamid Dimyathi menggantikan ayahnya menjadi kyai, maka madrasah tersebut dibuka pula untuk anak-anak pondok.

Demikianlah perkembangan fisik maupun perkembangan ilmiyah Pondok Tremas di masa KH. Dimyathi, sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa itulah kejayaan Pondok Tremas. Dan karena kemajuan, kebesaran serta keharumannya, maka tidak mengherankan bila para alumni dari periode ini banyak yang menjadi tokoh-tokoh yang dapat diandalkan dalam bidangnya masing-masing.

Namun sebelum kita menginjak pada periode selanjutnya, terlebih dahulu akan penyusun sampaikan tentang beberapa hal sekitar kepribadian beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi.

Beliau dikenal oleh santri-santrinya sebagai orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya, sholeh dan tawadlu’ dalam tingkah lakunya, sabar dalam sikapnya dan sederhana dalam segala-galanya. Beberapa pihak yang dekat dengan kehidupan pribadi beliau menerangkan bahwa KH. Dimyathi tidak pernah menunjukkan kemarahan pada wajah lahiriyahnya, sampai-sampai terhadap seorang santri yang berbuat kesalahan besar dan diputuskan dipulangkan umpamanya, maka dengan nada datar beliau berkata penuh tawadlu’. “ Barangkali yang paling maslahat bagi saudara seyogyanya pulang terlebih dahulu “. dan pulanglah sang santri dengan penyesalan yang dalam. Namun demikian, sikap beliau yang agung tersebut tidak pernah mengurangi ketaatan dan keseganan para santri terhadap pribadi beliau. Dan kebesaran pribadi serta wibawa beliau makin tampak apabila beliau sedang mengajar.

Di tengah-tengah para santri yang memenuhi serambi masjid, dalam suasana yang hening, dengan nada yang pasti dan meyakinkan beliau membaca kitab yang diajarkan baris demi baris, yang kadang-kadang disana-sini diselingi dengan humor yang cukup segar, sementara para santri mendengarkan dengan penuh perhatian. Sehingga sering diceritakan bahwa santri yang paling bodoh sekalipun akan dapat memahami dengan baik, sedang para santri yang cerdas akan dapat menghafalkan dengan mudah sesudah pengajian selesai

Periode KH. Hamid 1834-1848

Pada masa kecilnya beliau belajar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas, dan kemudian setelah usia remaja melanjutkan pendidikan di Pondok Lasem dibawah bimbingan Al-Mukarrom KH. Ali Ma’sum. Kemudian setelah beberapa tahun di Lasem beliau kembali ke Tremas serta , membantu ayahnya KH. Dimyathi dalam membangun dan membina Pondok Tremas.

Dalam masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi ini, apa yang terjadi di Pondok Tremas terbagi menjadi dua fase, yaitu 

:: Fase Kemajuan 

Tahun-tahun pertama dari masa Kyai Hamid Dimyathi adalah tahun paling jaya, yang merupakan jaman keemasan bagi Pondok Tremas baik dari segi fisik maupun perkembangan pendidikan dan pengajarannya. Jadi disamping dasar-dasar kemajuan yang memang sudah dilakukan pada masa KH. Dimyathi dilakukan juga beberapa usaha yang merupakan penyempurnaan dari usaha usaha sebelumnya

Usaha-usaha tersebut antara lain :
1.  Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian
2. Organisasi pondok diadakan penyempurnaan, baik dalam usaha keuangan, tata usaha administrasi maupun personalianya
3.  Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian
4. Penambahan macam-macam pengajian, yakni pengajian-pengajian yang sudah ada sebelumnya, ditambah dengan beberapa macam pengajian dengan memakai kitab-kitab yang ada pada masa KH.Dimyathi belum pernah dibaca, antara lain :
 
 اتمام الدراية
    الحكمة فى مخلوقات الله
       الحكمة فى مخلوقات الله
        ميزان العمل
   كلمة السعادة
 
5.  Pembukaan madrasah Salafiyah untuk para santri yang bertempat tinggal di asrama atau di pondok. Dan memasukkan beberapa mata pelajaraan umum pada madrasah salafiyah tersebut, yaitu :
Bahasa Indonesia 
Sejarah Bumi 
Ilmu Bumi 
 Berhitung, dll 
6. Membuka perpustakaan, yang bertujuan untuk memenuhi minat baca dan sebagai pendukung belajar para santri. Jadi bagi suatu lembaga pendidikan seperti Pondok Tremas, perpustakaan yang didirikan oleh Kyai Hamid Dimyathi pada tahun 1935 M. tersebut termasuk cukup lengkap. Didalamnya terdapat berbagai macam kitab yang meliputi fiqih, adab, tarikh, hadits dan sebagainya. Kemudian disamping kitab-kitab tersebut, dilengkapi juga dengan majalah-majalah baik yang terbitan dalam negeri juga yang terbitan luar negeri, misalnya:
     >   Majalah Penyebar Semangat dari Surabaya
     >   Majalah Anshor dari Mesir
     >   Majalah Al-Fata dari Mesir, dsb

Fase Kemunduran Pesantren

Kemunduran disini disebabkan karena pecahnya perang dunia II, tentara Dai Nippon (Jepang) mendarat di pulau Jawa dalam rangka ekspansinya untuk menguasai Asia Timur Raya.

Dalam keadaan yang tidak menentu itu sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar serta keamanan para santri yang bertempat di Pondok Tremas. Sehingga akibatnya banyak santri Pondok Tremas yang pulang ke kampung halamannya masing-masing, dan keadaan tersebut mengakibatkan juga berhentinya kegiatan belajar mengajar para santri, akhirnya pondok menjadi sepi.

Namun demikian terdapat juga sebagian kecil santri yang tidak meninggalkan pondok karena disebabkan oleh beberapa hal, misalnya belum dapat biaya pulang padahal rumahnya sangat jauh dan menyeberangi lautan, dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, mengenai fase kemunduran tersebut akan kami bagi dalam beberapa sebab, yaitu :

:: Jepang mendarat di pulau Jawa 

Kedatangan Jepang ke jawa benar-benar telah membawa penderitaan bagi rakyat Indonesia. Penderitaan fisik, mental keyakinan, politik, kebudaayaan, ekonomi, pendidikan dan keselamatan setiap orang. Mereka telah merampok kekayaan tanah air, menghancurkan kebudayaan serta adat-istiadat, dan menyebarkan rasa takut serta gelisah dikalangan penduduk. Oleh sebab itu orang tidak sempat berfikir, apalagi berangan-angan tentang politik dan nasib hari depan, karena masing-masing orang telah menghadapi kemungkinan yang paling mendesak.

Akibat buruk yang ditimbulkan oleh tentara Dai Nippon itu juga menimpa terhadap para santri maupun pengasuh Pondok Tremas itu sendiri. Oleh sebab itu maka banyaklah para santri yang pulang ke kampungnya masing-masing kecuali bagi mereka yang tidak dapat pulang karena sesuatu hal. Dan sejak itulah Pondok Tremas mengalami masa kemunduruan.

Kemunduran Pondok Tremas tersebut belum sempat dibenahi sudah disusul oleh peristiwa meletusnya pemberontakan PKI-Muso di Madiun. Sebuah kasus yang lebih dikenal dengan nama “ Affair Madiun “ pada tahun 1948. Suatu peristiwa dimana kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis jadi korban. Dan peristiwa tersebut sangat merugikan terhadap perkembangan Pondok Tremas, bahkan sampai pada masa fakumnya.

:: Pembrontakan PKI di Madiun 

Dalam suasana perjuangan yang semakin memuncak pada tahun 1945, Kyai Hamid Dimyathi ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Beliau masuk menjadi anggota KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat ), dan kemudian beliau masuk menjadi aktifis partai politik Islam Masyumi, ( satu-satunya partai Islam pada waktu itu ). Dalam kedudukannya itu maka akibatnya beliau jarang berada di pondok, sampai akhirnya meletus pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.

Pemberontakan diawali dari kota Madiun dan kota Solo, maka kota Pacitan yang juga termasuk wilayah karesidenan Madiun juga bergolak. Maka kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis menjadi korban. Dan dalam pemberontakan PKI di Madiun (Affair Madiun) itu korban yang paling banyak jatuh adalah dari pihak Islam, yang memang bahu-membahu dengan TNI menumpas pemberontakan itu.

Akibat pemberontakan PKI di Madiun tersebut bagi Pondok Tremas tercatat sebagai hari berkabung. Karena pada waktu itu Pondok Tremas juga termasuk salah satu sasaran tentara tentara PKI-Muso yang mengganas, membabi buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki, sehinga keamanan Pondok Tremas menjadi semakin terancam. Dan situasi yang tidak menentu tersebut menyebabkan para santri banyak yang pulang ke rumah masing-masing.

Bahkan pernah suatu waktu Kyai Hamid Dimyathi di panggil langsung oleh Bung Tomo ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan para ulama dan kyai. Tapi karena kesibukan Kyai Hamid Dimyathi di daerah Pacitan sendiri sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu, maka beliau berhalangan hadir, dan disuruhlah Bapak Mursyid (kakak ipar beliau) sebagai penggantinya berangkat ke Surabaya. Sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu beliau merasa bahwa keadaan dan keamanan di Pacitan sudah sangat kritis, maka beliau kemudian berusaha mengadakan hubungan ke Yogyakarta untuk memberi laporan kepada pemerintah pusat. Namun dalam penyamarannya melakukan perjalanan ke Yogyakarta bersama-sama dengan Pak Joko, Pak Abu Naim, Pak Yusuf, Pak Qosyim (kakak dan adik ipar) dan Pak Soimun (pendereknya) serta pengikut-pengikutnya yang semua berjumlah 15 orang, di tengah perjalanan sewaktu beristirahat di sebuah warung di daerah Pracimantoro, beliau dan rombongannya dicurigai dan ditangkap oleh gerombolan PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.

Setelah beberapa waktu ditahan di Baturetno maka dibawalah Kyai Hamid Dimyathi beserta rombongannya itu ke daerah Tirtomoyo dan dibunuhlah disana dengan dimasukkan begitu saja dalam suatu lobang bersama-sama dengan 13 syuhada’ lainnya (kecuali Pak Soimun pendereknya yang tidak dibunuh). Inna lillaahi wainna ilai roji’un.

Menurut persaksian Pak Soimun, diceritakan bahwa setelah beberapa bulan kemudian ( setelah keadaan aman ), diadakan penggalian terhadap para syuhada’ dan pejuang termasuk diantaranya penggalian terhadap jenazah rombongan Kyai Hamid Dimyathi yang berjumlah 14 orang tersebut. Namun setelah lobang itu digali kembali maka jumlah jenazah yang sudah mulai rusak tersebut tinggal 13 orang, dan karena keadaannya sudah rusak maka tidak dapat dikenali lagi satu persatu dan yang manakah jenazah Kyai Hamid Dimyathi. Dan akhirnya ke 13 jenazah tersebut dibawa ke makam pahlawan di Jurug Surakarta, dan sampai sekarang belum diketahui dimana makam beliau. Wallaahu A’lam.

Sejak meningalnya Kyai Hamid Dimyathi (tahun 1948), maka Pondok Tremas tersebut mengalami masa kevakuman sampai tahun 1952. Bangunan pondok yang beberapa tahun sebelumnya masih ramai dihuni oleh para santri kini menjadi kosong, serta banyak yang sudah mulai rusak. Dan para santrinya banyak yang kembali kembali ke kampungnya masing-masing. Alasan pulangnya para santri tersebut disamping adanya suasana politik yang kurang memungkinkan untuk tinggal di pondok duga disebabkan oleh karena kekosongan pemimpin (kyai), karena pengaruh kyai terhadap para santri sangat besar sehingga kyai dianggap sebagai sumber pemberi ilmu dunia dan akherat, dan juga sebagai seseorang yang paling harus ditaati.

Kemunduran yang sedemikian parahnya itu belum sempat dibenahi sudah disusul dengan bencana yang lain, yaitu datangnya kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II) pada tahun 1948

:: Datangnya kembali Belanda ke Indonesia 

Seperti diuraikan diatas, bahwa penyebab ketiga kemunduran Pondok Tremas tersebut disebabkan oleh kedatangan kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II). Agresi militer tersebut ialah aksi Belanda menyerbu wilayah Republik Indonesia yang kedua kalinya, setelah wakil tinggi mahkota Belanda (Dr. Beel) menyatakan tidak terikat lagi oleh persetujuan Renville pada tanggal 18 Desember 1948.

Tanggal 19 Desember 1948 Lapangan Maguwo Yogyakarta diserang oleh Belanda dan berhasil diduduki. Penyerbuan juga terjadi di kota-kota lain. Panglima Besar Jendral Sudirman bersama-sama para pemuda menyusun kekuatan dan melaksanakan strategi perang gerilya dimana-mana.

Oleh karena Pacitan termasuk salah satu kota yang menjadi sasaran serbuan tentara Belanda pada waktu itu, maka ketika diketahui bahwa kota Pacitan akan diserbu oleh tentara Belanda dari laut maka Pacitan dalam keadaan darurat, dan kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari, (sekarang kecamatan). Dan atas ijin sesepuh pondok, maka bupati Pacitan memutuskan untuk memindahkan sebagian lembaga pemasyarakatan ke Pondok Tremas yang sudah hampir tidak ada penghuninya, jadi selain digunakan sebagai lembaga pemasyarakatan Pondok Tremas juga digunakan untuk menampung orang-orang yang terlantar akibat penjajahan Jepang.

Kiranya tidaklah mengherankan apabila dalam keadaan yang tidak memungkinkan itu para santrinya pulang ke kampung masing-masing. Jadi sejak itulah maka Pondok Tremas sudah hampir tidak ada santrinya lagi kecuali hanya beberapa orang santri daari daerah sekitar dasn para santri yang tidak pulang karena hal lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa mulai tahun itu Pondok Tremas dalam keadaan vakum sama sekali, sampai akhirnya pada tahun 1952 Kyai Habib Dimyathi (adik Kyai Hamid Dimyathi) kembali dari Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta mengganti kakaknya membina dan membangkitkan kembali Pondok Tremas yang sudah hampir lima tahun dalam keadaan tidak aktif lagi

Masa Kebangkitan Pesantren Termas

Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa Pondok Tremas telah berdiri sejak tahun 1830. Dalam perkembangannya pondok tersebut banyak mengalami kemajuan, dan puncak kemajuan itu terlihat pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi dan Kyai Hamid Dimyathi. Mendekati berakhirnya masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi Pondok Tremas berangsur-angsur mengalami kemunduran. Adapun puncak kemunduran tersebut mulai nampak sejak meninggalnya Kyai Hamid Dimyathi, hingga Pondok Tremas mengalami masa vakum

Sedangkah tokoh-tokoh kebangkitan kembaki Pondok Tremas adalah: 

:: KH. Habib Dimyathie 

Beliau dilahirkan pada tahun 1923 M. Pada masa kecilnya beliau belajar dasar-dasar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas sendiri. Dan kemudian melanjutkan ke Pondok Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum. Setelah satu tahun lebih sedikit beliau belajar di pondok tersebut, kemudian kembali lagi ke Tremas. Pada tahun 1937 beliau melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta selama dua tahun lebih sedikit dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim. Dan dari madrasah Salafiyah tersebut beliau kembali lagi pulang ke Tremas. Setelah beberapa waktu di Tremas kemudian melanjutkan belajarnya ke Pondok Popongan dibawah asuhan KH. Mansyur, lantas melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari sampai kemerdekaan tahun 1945. 

Sepulangnya dari Tebuireng lalu melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan seterusnya ke Pondok Pesantren Sumolangu Kebumen dibawah asuhan KH. Thoifur Abdurrohman Alhasany. Selama di Yogyakarta beliau masuk menjadi anggota tentara pejuang Hizbulloh dan menjadi anggota BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan Bung Tomo, berjuang melawan penjajah di Ambarawa dan bermarkas di Magelang.

Pada awal tahun 1948 beliau pulang ke Tremas, tetapi karena pada waktu itu masih dalam situasi yang serba kacau akibat pemberontakan PKI (Affair Madiun), maka beliau bersama pamannya, KH. Abdurrozaq dan kawan-kawannya ditahan oleh PKI di Pacitan.Namun berkat datangnya bantuan tentara Siliwangi ke daerah Pacitan akhirnya beliau-beliau dapat diselamatkan dari rencana pembunuhan oleh PKI.

Setelah beberapa bulan di Tremas beliau meneruskan lagi ke Pondok Pesantren Krapyak, sampai akhir tahun 1952 beliau dipanggil pulang ke Tremas untuk menggantikan kakaknya, Kyai Hamid Dimyathi yang terbunuh akibat terjadinya affair Madiun 1948

:: KH. Haris Dimyathie 

Beliau lahir pada tahun 1932 M. Pada masa kecilnya beliau belajar di Pondok Tremas dibawah asuhan para sesepuh pondok. Kemudian pada tahun 1939 melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim sampai kurang lebih tahun 1942 M. Dan semasa pemerintahan penjajah Jepang beliau kembali ke Tremas sampai tahun 1945. Dan kemudian melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta dibawah asuhan KH. Ali Ma’sum.

Tetapi karena situasi kritis yang meliputi Yogyakarta pada waktu itu beliau ikut mengungsi ke daerah Kedung Banteng (masih termasuk wilayah Yogyakarta ) bersama-sama dengan Bapak Mukti Ali (eks menteri agama RI), Burhanuddin Harahap dan tokoh-tokoh pejuang lain. Di tempat pengungsian yang cukup lama itu Bapak Mukti Ali dan lainnya berhasil mendirikan sebuah madrasah, dimana untuk beberapa lama KH. Haris Dimyathi ikut menjadi murid, dan kemudian menjadi ustadz sampai kurang lebih tahun 1952. Hingga beberapa waktu kemudian beliau mengikuti jejak kakaknya kembali ke Tremas untuk membina dan membangun kembali Pondok Tremas.

Pada tahun 1945 Bapak Darul Khoiri bin Abdurrozaq ( nama panggilan pak Ndari ) yang selama kevakuman Pondok tremas menjadi pimpinan Madrasah Salafiyah menyerahkan kepemimpinannya kepada KH. Haris Dimyathi


Perlu diketahui bahwa KH Haris Dimyathi ini pernah menjadi menantunya pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama, saat meningkah dengan Nyai Fatimah binti KH. Hasyim Asy'ari dari Tebuireng, namun sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama

:: KH. Hasyim Ikhsan 

Beliau dilahirkan pada bulan Juli 1912 M. Semasa kecilnya belajar di Tremas sendiri dibawah asuhan para sesepuh, antara lain mBah Nyai Abdulloh serta pada KH. Dimyathi. Pada tahun 1928 meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum bersama-sama dengan Kyai Hamid Dimyathi.

Setelah beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Tremas dan diminta membantu mengajar di Pondok Tremas, tetapi satu tahun kemudian beliau meneruskan belajarnya ke Pondok Lasem lagi dibawah asuhan Kyai Kholil, hingga pada tahun 1934 kembali ke Tremas dan mengajar bersama-sama ustadz lain.

Pada tahun 1948 sampai 1950 beliau menjadi Pejabat penerangan Agama Islam di Tegalombo, selanjutnya dipindah ke daerah Arjosari. Dan akhirnya mengajar kembali di Pondok Tremas

Keadaan Pesantren Kini 

Setelah KH. Habib Dimyathi wafat pada tahun 1998, model kepemimpinan Perguruan Islam Pondok Tremas masih seperti periode-periode sebelumnya, yaitu membagi tugas dengan beberapa putra masyayih yaitu KH. Fuad Habib Dimyathi "Gus Fuad" (putra KH. Habib Dimyathi) sebagai Ketua Umum Perguruan Islam Pondok Tremas, KH. Luqman Hakim "Gus Luqman" (putra KH. Haris Dimyathi) sebagai Ketua Majelis Ma'arif dan KH. Mahrus Hasyim "Gus Mahrus" (putra KH. Hasyim Ihsan) yang menangani bidang sosial kemasyarakatan.

Gus Fuad dan Gus Luqman yang relatif masih muda punya semangat dan keberanian dalam menggunakan prinsip "al Muhafadloh alal Qodimis sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah". Pertama yang dibenahi adalah sarana fisik berupa renovasi Masjid Pondok Tremas yang juga milik masyarakat desa Tremas. Masjid ini direncanakan terdiri dari dua lantai dan terbagi dalam beberapa ruang, antara lain ruang Utama, ruang Sekretariat Pondok Putra, Perpustakaan, Bahtsul Masail, Tahfidzul Qur'an dan ruang Pengajian. masjid ini sengaja dibangun multifungsi, karena masjid merupakan sentral dari semua kegiatan yang ada di Pondok Tremas. Dibangunnya Madrasah Depan Masjid, Asrama Putri V (Astri Lima) dan pavingisasi adalah proyek renovasi lainnya yang diselelnggarakan bersama pembangunan masjid.

Selain pembangunan fisik, pembenahan kurikulum dan peningkatan kualitas santri dalam memahami hukum Islam juga mendapat prioritas dalam periode ini guna mewujudkan motto Pondok Tremas, yaitu : ”Mencetak Insan Benar Yang Pintar"


Syaikh Mahfudz bin Abdullah Attarmasi Ahli Hadits Yang Mendunia

Syaikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah bin Abdul Mannan bin Abdullah bin Ahmad at-Tarmasi/Termas merupakan salah satu ulama’ Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam berbagai disiplin ilmu. Syaikh Muhammad Mahfuz Termas lahir di Termas, Pacitan, Jawa Tengah, pada 12 Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Mekah sampai beliau wafat pada 1 Rajab 1338 H/ 20 Mei 1920 M.

Untuk mengetahui sejarah pendidikannya, guru dan ilmu-ilmu yang dipelajari oleh Syaikh Muhammad Mahfuz Termas tidaklah terlalu sulit, karena sejarah hidup beliau dapat ditemukan dalam karya-karya beliau. Dalam Kitab Muhibah zil Fadhli jilid ke-4 yang merupakan salah satu karya beliau, dikatakan bahwa beliau pada masa mudanya banyak menimba ilmu kepada ayahnya sendiri, Syaikh Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmasi. Dari ayahnya beliau mempelajari Syarh al-Ghayah li Ibni Qasim al-Ghuzza, al-Manhaj al-Qawim, Fat-h al-Mu’in, Fat-h al-Wahhab, Syarh Syarqawi `ala al-Hikam dan sebagian Tafsir al-Jalalain hingga sampai Surah Yunus.

Merasa haus akan ilmu dan setelah banyak belajar kepada ayahnya, Syeikh Muhammad Mahfuz Termas kemudian memilih merantau ke Semarang untuk belajar kepada Kiyai Muhammad Saleh Darat. Di bawah bimbingan Kyai Saleh Darat ini, beliau mempelajari Syarh al-Hikam (dua kali khatam), Tafsir al-Jalalain (dua kali hatam), Syarh al-Mardini dan Wasilah ath-Thullab (falak)

Setelah beberapa tahun dalam bimbingan Kyai Saleh Darat. Syaikh Muhammad Mahfuz Termas meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah. Di negara kelahiran Nabi Muhammad ini, beliau berguru kepada para ulama terkemuka, diantaranya adalah Syaikh Ahmad al-Minsyawi, dari ulama’ ini, beliau belajar Qiraah `Ashim dan tajwid, sebagian Syarh Ibni al-Qashih `ala asy-Syathibiyah. Dalam waktu yang bersamaan, beliau juga belajar kepada Syeikh `Umar bin Barakat asy-Syami, dengan mempelajari Syarh Syuzur az-Zahab li Ibni Hisyam. Juga kepada Syaikh Mustafa al-’Afifi, dengan mengkaji kitab Syarh Jam’il Jawami’ lil Mahalli dan Mughni al-Labib. Sahih al-Bukhari kepada Sayid Husein bin Sayid Muhammad al-Habsyi. Sunan Abi Daud, Sunan Tirmizi dan Sunan Nasai kepada Syeikh Muhammad Sa’id Ba Bashail. Syarh `Uqud al- Juman, dan sebagian kitab asy-Syifa’ lil Qadhi al-’Iyadh keada Sayid Ahmad az-Zawawi. Syarh Ibni al-Qashih, Syarh ad-Durrah al-Mudhi-ah, Syarh Thaibah an-Nasyr fi al-Qiraat al-’Asyar, ar-Raudh an-Nadhir lil Mutawalli, Syarh ar-Ra-iyah, Ithaf al-Basyar fi al-Qiraat al-Arba’ah al-’Asyar, dan Tafsir al-Baidhawi bi Hasyiyatihi kepada Syeikh Muhammad asy-Syarbaini ad-Dimyathi. Dalail al-Khairat, al-Ahzab, al-Burdah, al-Awwaliyat al-’Ajluni dan Muwaththa’ Imam Malik kepada Sayid Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan al-Madani serta ulama’-ulama’ terkemuka lainnya, seperti Syeikh Ahmad al-Fathani dan Syaikh Nawawi Banten, salah satu ulama Indonesia yang juga bermukim di Mekah.. 
Sedangkan guru utama beliau yang paling banyak mengajarnya pelbagai ilmu secara keseluruhannya ialah Sayid Abi Bakr bin Sayid Muhammad asy-Syatha, pengarang kitab I’anatut Talibin, syarah Fathul Mu’in.

Konon katanya, salah seorang Ulama Patani, Syaikh Ahmad Al-Fathani memiliki hubungan yang erat dengan dengan Sayid Abi Bakr asy-Syatha, bahkan diceritakan bahwa salah satu karangan Sayid Abi Bakr asy-Syatha yang berjudul I’anatut Thalibin Syarh Fat-hil Mu’in sebelum dicetak terlebih dahulu ditashih dan ditahqiq oleh Syeikh Ahmad al-Fathani atas perintah Sayid Abi Bakr asy-Syatha sendiri dan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. 

Dan diceritakan pula bahwa yang pertama kali mengajar kitab I’anatut Thalibin di dalam Masjid al-Haram ialah Syeikh Ahmad al-Fathani, semua murid Sayid Abi Bakr asy-Syatha pada zaman itu termasuk Syeikh Muhammad Mahfuz Termas hadir dalam halaqah atau majlis pengajian Syeikh Ahmad al-Fathani itu.
Dalam kaitannya dengan penimbaan ilmu, Syaikh Mahfud memiliki karya khusus yang mencatat semua sanad dari setiap ilmu yang beliau pelajari, beliau kumpulkan dalam karyanya yang berjudul Kifayatul Mustafid.

Dalam pengembaraannya di Mekah, beliau semasa dan seperguruan dengan Syeikh Wan Daud bin Mustafa al-Fathani (1283 H/1866 M – 1355 H/1936 M), Mufti Pulau Pinang Haji Abdullah Fahim serta ulama’ lainnya.
Syeikh Muhammad Mahfuz Termas termasuk salah seorang ulama nusantara yang banyak menghasilkan karangan dalam bahasa Arab seperti halnya ulama’-ulama nusantara lainnya yang bermukim di Mekah, seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Abdul Hamid Kudus.

Diantara karangan-karang beliau adalah :

1. As-Siqayatul Mardhiyah fi Asamil Kutubil Fiqhiyah li Ashabinas Syafi’iyah, Selesai penulisan pada hari Jum’at, Sya’ban 1313 H. Dicetak oleh Mathba’ah at-Taraqqil Majidiyah al-’Utsmaniyah, Mekah (tanpa tahun).

2. Muhibah zil Fadhli `ala Syarh al-’Allamah Ibnu Hajar Muqaddimah Ba Fadhal), kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid pertama diselesaikan pada 25 Safar 1315 H,. Jilid kedua diselesaikan pada hari Jum’at, 27 Rabiulakhir 1316 H. Jilid ketiga diselesaikan pada malam Ahad, 7 Rejab 1317 H. Jilid keempat, diselesaikan pada malam Rabu, 19 Jamadilakhir 1319 H. Dicetak oleh Mathba’ah al-’Amirah asy-Syarfiyah, Mesir, 1326 H.

3. Kifayatul Mustafid lima `ala minal Asanid, diselesaikan pada hari Selasa, 19 Safar 1320 H. Kandungannya membicarakan pelbagai sanad keilmuan Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi/at- Tirmisi. Dicetak oleh Mathba’ah al-Masyhad al-Husaini, No. 18 Syari’ al-Masyhad al-Husaini, Mesir (tanpa tahun). Kitab ini ditashhih dan ditahqiq oleh Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, al-Mudarris Daril `Ulumid Diniyah, Mekah

4. Manhaj Zawin Nazhar fi Syarhi Manzhumati `Ilmil Atsar, diselesaikan pada tahun 1329 H/1911 M. Kandungannya membicarakan Ilmu Mushthalah Hadits merupakan Syarh Manzhumah `Ilmil Atsar karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Kitab ini merupakan bukti bahwa ulama nusantara mampu menulis ilmu hadis yang demikian tinggi nilainya. 

Kitab ini menjadi rujukan para ulama di belahan dunia terutama ulama-ulama hadis. Dicetak oleh Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, Mesir, 1352 H/1934 M. Cetakan dibiayai oleh Syeikh Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhihi Ahmad, pemilik Al-Maktabah An-Nabhaniyah Al-Kubra, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

5. Al-Khal’atul Fikriyah fi Syarhil Minhatil Khairiyah, belum diketahui tarikh penulisan. Kandungannya juga membicarakan hadits merupakan Syarh Hadits Arba’in.

6. Al- Badrul Munir fi Qira-ati Ibni Katsir.
7.. Tanwirus Shadr fi Qira-ati Ibni `Amr
8. Insyirahul Fawaid fi Qira-ati Hamzah
9. Ta’mimul Manafi’ fi Qira-ati Nafi’.
10. Al-Fawaidut Tarmasiyah fi Asamil Qira-ati `Asyariyah, Syeikh Yasin Padang menyebut bahawa kitab ini pernah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Majidiyah, Mekah, tahun 1330 H.
11. Is’aful Mathali’ Syarhul Badril Lami’

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa karangan Syaikh Mahfudz mencapai lebih 20 karangan
Syaikh Mahfudz Termas, dengan berbagai karya dalam berbagai disiplin ilmu, beliau lebih terkenal sebagai pakar dalam bidang hadits, baik Dirayah Hadits, Mushthalah Hadits maupun Rijal Hadits dan lain-lain.

Sejarah Singkat Pesantren Jamsaren Solo

SEJARAH AWAL PONDOK JAMSAREN Pondok pesantren Jamsaren berlokasi di Jalan Veteran 263 Serengan Solo. Ponpes ini pertama berdiri sekitar tahu...